Bagi warga Jakarta, Sabang mungkin lebih dikenal sebagai sepenggal jalan di pusat kota yang terkenal dengan wisata kulinernya, terutama pada malam hari, yang selalu ramai dengan aneka makanan dan juga yang tak kalah adalah pengamennya. Ya, sabang di Jakarta memang sebuah nama jalan di kawasan yang banyak memakai nama kota untuk nama jalannya.
Kota Sabang terletak di Pulau Weh, sebelah utara Banda Aceh, pulau yang (hampir) paling utara di Indonesia. Yang unik dari pulau ini adalah bentuknya yang seperti huruf W, sehingga ada yang beranggapan pulau ini diberi nama dari bentuknya. Ada yang bilang "weh" artinya dekat, karena pulau ini masih terlihat masih terlihat dari Banda Aceh, kota utama di provinsi ini. Ada juga yang bilang berarti "pergi" karena konon pulau ini makin menjauh dari pulau Sumatera. Ada juga yang mengatakan sebagai "weh" sebagai bentuk mengusir, karena pulau ini dulu merupakan pulau buangan, entah karena sakit atau karena dipenjara. Penulis tidak sempat mencari tahu mana arti yang sebenarnya walau sempat empat kali berkunjung ke pulau ini. Yang membuat prihatin penulis adalah kecenderungan orang menyebutnya dengan Pulau Sabang.

Secara administratif, Sabang merupakan sebuah Kota (dulu Kotamadya) yang mencakup Pulau Weh sebagai pulau utamanya dan pulau-pulau kecil tak berpenghuni di sekelilingnya, termasuk pulau Rondo yang merupakan pulau paling utara di Indonesia.
Berwisata ke Sabang, walau bisa ditempuh dalam satu hari dari Jakarta, memang jauh dan cukup melelahkan. Apalagi, jika memang dari Jakarta masih banyak pilihan tempat lain. Tetapi jika belum pernah dan ingin merasakan yang agak beda, Sabang layak masuk dalam daftar tujuan.
Iboih dan Gapang
Walaupun masih ada obyek wisata budaya atau sejarah, kota kecil yang tenang, di pulau yang cantik ini wisata alam adalah daya tarik utamanya, terutama laut. Taman-taman laut yang indah di sekitar Pulau Rubiah menjadi tujuan utama wisatawan yang datang ke sini. Pengunjung bisa memilih untuk menyelam, snorkling, berkeliling dengan perahu, bermain kano atau memilih semuanya.
Tsunami yang datang akhir Desember tahun lalu memang sedikit merusak keindahan taman bawah air di sekitar Pulau Weh ini, seperti diakui Junet, seorang penduduk Iboih yang sering mengantarkan wisatawan mendatangi taman laut disekitar Iboih. Tetapi kerusakan terumbu itu berangsur pulih, ikan-ikan pun mulai terlihat datang bermain-main di sekitar terumbu karang. Kerusakan yang terjadi tidak seperti kerusakan yang diakibatkan oleh manusia, seperti bom misalnya.
"Dulu memang lebih cantik terumbu karangnya. Di dekat Rubiah sini paling cantik, apalagi (dekat Rubiah sini) lebih sepi, jadi lebih santai berenangnya," jelas Junet mempromosikan keindahan Rubiah yang diiyakan rekannya.
Seperti terlihat di peta, Rubiah, pulau kecil di dekat Iboih memang tempat yang ideal untuk snorkling. Di pulau kecil ini ada sebuah penginapan yang bisa disewa. Pantainya cocok untuk bersantai, dan kemudian sesekali berenang menikmati keindahan bawah laut, tak jauh dari pantai.
Iboih dan Gapang adalah dua tempat yang biasa dituju para wisatawan. Fasilitas untuk menikmati keindahan laut pulau ini tersedia lengkap bagi wisatawan yang tidak membawa peralatan sendiri. Bahkan dulu terdapat warnet berkecepatan tinggi untuk mengakses internet, sayangnya fasilitas ini rusak dihantam tsunami. Menurut penuturan Junet internet digunakan menjadi seperti ensiklopedia untuk mengetahui jenis spesies yang ditemukan di laut saat snorkling atau menyelam, atau digunakan untuk mengirim berita, foto dan artikel tentang spesies-spesies itu.
Iboih dan Gapang biasanya ramai pada tiap akhir pekan. Dan Gapang lebih ramai karena memiliki lebih banyak bungalow, disitu juga terdapat sebuah hotel berbintang. Penulis sendiri merasakan kekurangnyamanan akibat terlalu ramainya Gapang.
Bungalow di sana berbentuk panggung, terdiri dari satu ruangan kecil yang hanya sedikit lebih besar dari tempat tidur. Fasilitas sanitari yang sering dikeluhkan pengunjung manca negara terpisah dari bungalow. Bungalow-bungalow itu dibangun berkelompok membentuk kompleks menurut pemiliknya. Dan satu kompleks bungalow biasanya memiliki satu fasilitas sanitari dan tempat makan sendiri-sendiri, walau masih terdapat rumah makan di kampung terdekat.
Setelah tsunami pengunjung wisata di pulau ini kembali berdatangan, setelah mengalami kelesuan akibat pemberlakuan status "darurat militer" di propinsi ini.
"Yaah.. sekarang lumayan lah, dulu ada yang menjual tanahnya karena bisnis sepi," papar O'ong, salah satu pemilik bungalow di Iboih tentang perkembangan usahanya.
Para pengunjung biasanya adalah para relawan atau pekerja yang beristirahat sejenak dari kesibukannya membantu perbaikan dan pembangunan Aceh. Tapi ada juga pengunjung setia tempat ini, yang rutin datang selama beberapa tahun terakhir.
"Bule itu sudah sepuluh tahun datang ke sini terus, dan selalu memilih bungalow yang sama" jelas Norma, pengelola bungalow, sambil menunjuk seorang wisatawan asing. "Di kampung itu juga ada bule Perancis yang menikah dengan orang sini, pintar bahasa Aceh dia, tapi tidak bisa bahasa Indonesia," tambah Norma lagi.
Tugu Kilometer Nol
Pulau Weh sebagai pulau berpenghuni paling utara dijadikan tempat monumental sebagai patokan titik awal penghitungan jarak di Indonesia. Beberapa orang mempertanyakan kenapa tidak pulau Rondo yang berada di paling utara saja yang dijadikan patokan. Seorang profesor pemetaan terkemuka menjawab diplomatis bahwa dia tidak diikutkan dalam penentuan titik itu, saat ditanya dalam sebuah lokakarya tentang pemetaan di Kota Sabang.
Titik awal itu diberi tanda dengan sebuah monumen bernama Monumen Kilometer Nol. Pengunjung yang sudah pernah mendatangi titik ini bisa mendapatkan sertifikat "kedatangan"-nya di kantor pariwisata Kota Sabang.
Monumen yang diresmikan tahun 1997 itu sendiri tidak berada di bagian paling utara pulau Weh, tapi agak sedikit ke selatan di tempat yang lebih tinggi menyerupai bukit. Mungkin karena bagian paling utara di pulau Weh merupakan pantai terjal yang berhadapan langsung dengan Laut Andaman di utara dan Samudera Hindia di sebelah baratnya. Setiap pengunjung yang mendatangi tempat ini diminta melapor di sebuah pos militer yang dijaga Pasukan Khas dari Angkatan Udara, saat mendekati bangunan monumen.

Tempat ini adalah tempat yang monumental, memiliki nilai strategis bagi kedaulatan wilayah negara. Tapi mungkin tidak banyak yang bisa dilihat di tempat ini selain bangunan monumen dan papan petunjuk yang berisi bahwa tempat itu sebagai titik acuan penghitungan jarak di Indonesia. Tempat itu memang berada di tengah hutan di ujung pulau paling ujung di Indonesia. Jika tidak terbiasa, hati-hati dengan monyet liar yang mendiami tempat itu.
Info:
Transportasi:
Jakarta/Medan - Banda Aceh : 3x penerbangan pagi
1x penerbangan siang
Lama perjalanan
Jakarta - Medan: 2 jam
Medan - Banda Aceh: 45 menit
Banda Aceh (bandara-pelabuhan) : + 30 menit ke pelabuhan feri cepat di Ulee Lhee
+ 1 jam ke pelabuhan feri ro-ro (jika membawa kendaraan) Malahayati di Krueng Raya
Banda Aceh - P. Weh (Pel. Balohan) : + 45 menit dengan feri cepat setiap hari jam 09.00 dan 15.00
+ 2 jam dengan feri ro-ro setiap hari jam 13.00
Balohan - Kota : + 15 menit dengan taksi atau angkutan umum minibus
Balohan - Iboih/Gapang : + 1 jam dengan taksi atau angkutan umum minibus
Dalam kota : Bisa dengan berjalan kaki karena dekatnya tempat-tempat di dalam kota, atau dengan menyewa becak bermotor.
Tidak ada tempat penyewaan kendaraan.
Akomodasi :
Kota Sabang : Satu hotel berbintang di tempat yang agak jauh (di bukit) dan beberapa hotel melati.
Iboih : Bungalow yang dikelola masyarakat
Gapang : Hotel dan bungalow yang dikelola masyarakat
Di Tulis Oleh Tri Agus Prayitno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar